Wednesday, May 9, 2007

5. Memenuhi hasrat untuk terus belajar.


Selama ikut laskar selama hampir 3,5 taahun saya betul-betul ikut berperang bedil-bedilan hanya dua kali , walaupun ikut ke frontnya 3 atau 4 kali. Sisa waktu ya cuma mengobrol di markas atau nyatut cari uang saku. Maka pada pertengahan 1946 beberapa orang diantara kita lalu punya gagasan untuk bikin studiklub; ada yang ingin menambah tentang pengetahuan bahasa asing, ada yang ingin ilmu pasti dan fisika dan ada yang ingin tambah ilmu sosial dan politik. Sesudah studiklub berjalan beberapa lama ada yang punya ide untuk meningkatkannya menjadi kursus SMA. , karena tinggal menambah beberapa mata ajaran lagi. Maka bekerjalah kami untuk mencari fasilitas dan dukungan ke arah pembentukan SMA. Terutama mencari tenaga-tenaga guru yang kira-kira dapat membantu.


Ternyata bantuan dan dukungan itu tidak terlalu sulit kita dapat, karena hampir semuanya yang kita datangi dengan senang hati memberikan apa yang kita minta. Maklumlah suasananya suasana perjoangan, jadi semuanya ingin membantu tanpa bertanya tentang ada honornya apa tidak. Ditambah karena waktu itu ada dua kementerian yang mengungsi ke Magelang.Yaitu kementerian Keuangan dan kementerian Kemakmuran. Jadi kita cukup cepat mendapat semua tenaga guru yang kita perlukan.Untuk mata ajaran biologi , dr. Soemalyo, Kepala Rumah Sakit Tidar, untuk kimia dr.Samsoenarjo, dokternya Lasykar Rakyat, untuk goniometri Ir.Lie Kepala PDAM Magelang , untuk ekonomi Drs.Hermen Kartowisastro , top-one nya ekonomi Indonesia pada waktu itu yang lulusan sekolah di Negeri Belanda , dst., dst.. Disamping itu kami menemukan Pak Soedarsono, seorang kepala sekolah SMA di Salatiga yang kebetulan mengungsi di Magelang. Atas permintaan kami beliau dengan senang hati memegang pimpinan kursus SMA yang baru saja jadi. Maka ditahun berikutnya , yaitu tahun pelajaran 1947 – 1948 kursus yang baru berumur 1 tahun sudah menjadi sekolah SMA resmi. Kami mulai kursus tersebut dengan kelas 2, karena semua anggota studiklub asalnya sudah tua semuanya, dan rata-rata sudah pernah bekerja. Tapi kelas 1 - nya lekas juga terisi karena banyaknya pengungsi dari kota lain, seperti Ambarawa dan Salatiga. Di akhir tahun pelajaran semua pendiri kursus dinaikkan ke kelas3, walaupun mereka sering terpaksa membolos karena ada tugas.


Sekali peristiwa dengan 4 orang lainnya anggota lasykar saya mendapat tugas untuk membantu mengatasi kelangkaan garam dapur di kota Magelang. Yaitu dengan membawa serangkaian dari 5 gerbong barang kereta api yang kosong dari Magelang ke Pasuruan dan mengisinya penuh dengan garam serta membawa kembali gerbong-gerbong itu ke Magelang untuk mengisi gudang garam kota yang kosong. Itu pengalaman yang penuh dengan romantika.


Di tiap setasiun utama dimana formasi kereta harus disusun kembali kami harus pandai berdiplomasi dengan tukang langsir.Baru waktu itu kami mengetahui bahwa tukang langsir lebih penting dari Kepala Setasiun dalam berusaha agar gerbong kosong kami tidak dibajak oleh orang lain dan bisa ikut dalam rangkaian kereta yang paling cepat menuju ke Pasuruan.


Di pelabuhan Pasuruan juga perlu strategi dan kepandaian bernegosiasi agar gerbong kami lekas terisi semuanya. Di perjalanan pulang kecuali harus berteman baik dengan para tukang langsir juga harus extra waspada agar gerbong-gerbong kami selamat sampai Magelang lagi masih penuh dengan muatan garamnya.


Juga teman-teman lain tidak jarang harus meninggalkan pelajaran karena tugas-tugas yang serupa. Jika terpaksa absen dari pelajaran seperti itu sepulangnya dari tugas kami terus menyusul dari ketinggalan belajar dengan meminjam catatan dari teman-teman dan menyalin pelajaran yang kami tidak dapat ikuti. Demikian pula kalau ada guru yang terpaksa absen karena tugas. Kami terus menggantinya dengan teman yang paling pandai didalam mata ajaran yang bersangkutan. Lalu kami bikin soal-soal bersama dibawah pimpinan teman yang pandai itu. Jadi walau guru kami terpaksa absen , setidaknya pelajaran dapat berjalan terus.Memang semangat belajar pada waktu itu dikelas kami cukup tinggi. Itu juga dihargai oleh guru-guru kami. Contohnya sesudah beberapa kali saya absen belajar dan ketinggalan dalam pelajaran, guru kimia menanya kepada saya : “ Jo, kamu mau angka berapa ? “ . Saya jadi agak heran juga dan menjawab : “ Berapa saja deh Pak. Asal bisa naik kelas “. Saya diberi angka 7.


Di kelas 2 itu saya mulai mengenal sang calon isteri. Karena tertua umurnya , yaitu ketika itu saya sudah 21 tahun, saya terpilih sebagai Ketua Kelas. Demikian juga karena sudah bekerja sang calon isteri dipilih menjadi Wakil Ketua Kelas. Kelasnya ya cukup besar. Ingat saya muridnya lebih dari 30 orang. Pada akhir tahun pelajaran hampir semuanya naik kelas. Di kelas tiga saya terpilih lagi sebagai Ketua Kelas dan Oemi sebagai Wakil Ketua. Teman-teman sekelas matanya tajam sekali dan cepat melihat, bahwa Ketua Kelas mereka akrab dan asyik dengan wakilnya. Maka mereka memberi “gelar “ kepada kami dan memanggil kami Bapak dan Ibu.

Agustus tahun 1948 akhir tahun pelajaran. Kami semua menempuh ujian akhir. Sementara itu kursus kami sudah resmi menjadi S.M.A. Negeri Magelang. Yang lulus ranking 1 adalah yang namanya Soedarsono, nomor 2 Soejoedi, nomor 3 saya, nomor 4 Soenardjo dan nomor 5 Oemijati. Hampir semua murid lulus sebagai lulusan S.M.A. Negeri Magelang pertama di tahun 1948.


Banyak diantara kami yang ingin meneruskan belajar ke perguruan tinggi. Maka kami serombongan mendaftarkan masuk ke perguruan selanjutnya. Dulu pendaftarannya di Kelaten. Oemi pingin ke kedokteran, saya ke teknik jurusan teknologi umum. Saya malah sudah mendapat kartu mahasiswa dan sudah gundul untuk ikut perpeloncoan. Rencana sudah dijalin, tetapi Allah menetapkan lain.

Pada tanggal 19 Desember 1948 mendadak Belanda menyerang . Waktu itu saya sedang di depan asramanya mbak Ien karena sudah janji mau bareng ke Magelang. Jam 6.00 pagi Maguwo dibom dan tentara payung mendarat, gedung didepan asrama mbak Ien di Gondokusuman ditembaki oleh sebuah kapal terbang yang terbang rendah. Saya terus pulang ke Magelang dengan jalan kaki. Beberapa hari kemudian Magelang juga diduduki. Mereka datang dengan tank dan mobil baja dari Semarang. Belanda menamakannya “ Aksi Polisionil ke-II “.


Bersama dengan beberapa orang pemuda di Gang Nasrani, dik Gono Samekto dan kawan-kawan saya masuk ke kelompok Colonne Magelang, CM, karena berniat menentang Belanda. Kalau malam mengganggu patroli NICA, kalau siang saya berdagang . Keluar dan masuk kota menurut keperluan perjoangan . Kalau keluar kota saya membawa garam dan kemenyan untuk bumbu rokok dan kalau kembali masuk kota saya membawa satu tumbu beras dan kelembak dari Kaliangkrik. Waktu itu saya masih muda dan mampu memanggul beras sebanyak 20 beruk sambil menyeberangi Kali Progo yang kadang-kadang banjir dan dasarnya berbatu dan licin.


Di waktu itu Sam juga ada di rumah dan walaupun masih di SMP. sudah juga ikut TRIP, Tentara Pelajar Indonesia. Dengan kelompoknya dia jauh di Kaliangkrik di lereng gunung Sumbing yang jaraknya kira-kira 12 - 14 km. dari Magelang.


Pada pertengahan tahun 1949 Ibu saya mulai khawatir kalau-kalau pada kami kedua-duanya terjadi apa-apa bersama-sama . Maka beliau memanggil saya dan menghimbau kalau terjadi apa-apa janganlah pada dua-duanya. Maka salah satu sebaiknya pulang dan mencari cara lain untuk ikut berjuang. Maka berangkatlah saya menyusul pasukan TP dimana Sam bergabung di Kaliangkrik.Maksud saya untuk menemui Sam dan menyuruh dia yang tinggal di rumah memenuhi permintaan ibu. Sesudah perjalanan satu hari penuh ketemu juga Sam tinggi diatas lereng Gunung Sumbing dan saya sampaikan keinginan orang tua. Akan tetapi dia tidak mau pulang walau saya tunggu keputusannya beberapa hari. Jadi terpaksalah saya pulang dengan tangan hampa pulang ke Magelang. Dan menjadi kewajiban saya menuruti kehendak orang-tua . Saya terpaksa harus mengalah, tapi tak dapat terus tinggal di rumah, karena NICA, organisasi intelijennya Belanda , terus mencari pemuda-pemuda anggota gerilya. Maka dengan persetujuan Bapak dan Ibu aku berniat mengungsi ke Bali, dimana ada mas Badi yang jadi dokter di R.S. Sanglah, Denpasar Bali. Berangkatlah aku ke Bali bersama Soeroso, putera Pak Tedjo, tetangga disebelah rumah yang masalahnya sama. Di Bali sudah ada Eddy, adiknya yu Moes. Terus ada anak-anaknya mas Badi, Diani, Didi dan Doddy.


Perang kemerdekaan berjalan terus dan ada sedikit “ kemajuan “ dengan adanya perundingan-perundingan. Ada Renvlle, ada Linggarjati dan ada Meja Bundar. Ketegangan perang mereda dan rasa-rasanya peperangan akan berakhir. Maka saya mulai berfikir apakah sudah memadai kalau saya sekolah kembali.Sesudah beberapa waktu menimbang dan menelaah, terus berbicara dengan mas Badi dan yu Moes apakah mereka mau membiayai saya kalau saya sekolah lagi, pikiran saya sudah mantap, aku akan kembali ke sekolah. Saya minta tolong kepada mas Badi dan yu Moes untuk membiayai saya satu tahun saja. Kemudian saya dilepas saja. Niat saya sekolah sambil bekerja karena umur saya sudah tua. Maka saya lalu matur Bapak dan Ibu, mau bersekolah lagi ke Fakultas Pertanian Bogor, dengan biaya dari mas Badi.Bulan September 1949 saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa.

Walaupun menjelang umur 25 th., sebenarnya saya sudah terlalu “tua” untuk menjadi mahasiswa.

No comments: