Thursday, May 10, 2007

8. Studi di Luar Negeri


Latihan itu ternyata ada gunanya. Pada bulan Juli 1957 alhamdullillaah saya beruntung memperoleh beasiswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar di Amerika Serikat. Ada seorang professor dari lembaga itu yang sedang tugas di Singapura dan akan menemui saya untuk wawancara dan untuk menguji saya apakah kemampuan saya tentang bahasa Inggeris mencukupi untuk mengikuti kuliah di negeri Paman Sam. Ternyata system yang saya gunakan untuk belajar bahasa Inggeris seperti saya ceritakan di atas itu mencukupi untuk dinyatakan lulus.Maka pada bulan September tahun itu juga saya berangkat ke USA. Saya memilih bidang studi pembuatan kertas di New York State College Of Forestry at the University of Syracuse, New York.


Saya berangkat awal September 1957. Aturannya saya dicoba dulu selama 1 semester. Kalau saya dapat meraih B – average maka isteri boleh menyusul. Walaupun selama 2 bulan pertama di Syracuse saya hampir-hampir tak bisa menangkap pembicaraan orang dengan baik karena slang mereka , pada akhir semester ternyata saya memenuhi persyaratan berkat bimbingan Allah Yang Maha Murah. Maka saya boleh terus belajar 1 tahun lagi dan sang isteri boleh menyusul atas biaya dari Yayasan.


Maka Oemi menyusul bulan January 1958. Menuruti saran dari bibinya, Ibu Sajono, ia bepergian dengan berpakaian kain kebaya agar tidak diperlakukan sebagai Negro. Padahal waktu itu sedang winter dan di Syacuse winternya cukup keras, sehingga kalau sedang ada badai temperaturnya bisa turun sampai minus 23 derajad Celcius. Dan pada waktu ia datang sedang ada hujan salju. Maka ia sempat sakit beberapa hari dulu sebelum dapat menikmati pemandangan.


Kami di Syracuse boleh tinggal di “ Student’s Housing “, suatu perumahan sederhana yang relatif murah. Tetangga kami semuanya mahasiswa yang sudah beristeri, sebagian terbesar orang Amerika, tetapi banyak juga yang dari negara lain. Berseberangan dengan rumah kami tinggal keluarga Brock, suaminya Bob dan isterinya Dorothy. Dia bekerja sebagai perawat dan baik hati sekali. Tiap kali dia mau ke swalayan selalu menawari Oemi, mau ikut atau tidak. Jadi sang isteri tidak terlalu kesepian walaupun saya tinggal kuliah sepanjang hari. Kami juga menemukan seorang teman orang sana, yaitu Dick dan Beth Sturley, yang menganggap Oemi itu seperti adiknya sendiri. Suasana pergaulan di Syracuse juga cukup hangat bagi kita waktu itu karena disana banyak orang Indonesia yang juga sedang belajar di berbagai jurusan di Syracuse. Kebetulan yang bawa isteri cuma saya. Jadi banyak diantara mereka yang suka berkunjung kalau kangen makan masakan Indonesia. Di kota lain , Ithaca , juga ada keluarga-keluarga Indonesia lain, diantaranya Keluarga Tedjasukmana dan Bapak dan Ibu Selo Soemardjan. Kami sesekali juga berkunjung kepada mereka , karena jaraknya “cuma” l.k. 90 km dari Syracuse. Di Syracuse kami juga mempunyai teman-teman akrab dari negara-negara lain seperti van de Ent dari Belanda, Mr.Lie dari Taiwan, Yasuda San dari Japan, dan Cora serta Terry de Mendoza suami isteri dari Filippina . Maka keadaan dan pergaulan kami cukup hangat. Teman-teman mahasiswa tidak hanya pria, tapi yang wanita juga ada beberapa seperti Rochyati dan Sri dari ITB , Dida dari Makasar dan ada satu lagi yang saya lupa namanya. Malah dimusim gugur 1958 Sri, Rochyati dan kami berdua camping bersama di pegunungan Adirondacks. Tidak tidur di hotel tapi kami membeli tenda dan tidur di National Parks, dimana sudah tersedia fasilitas untuk camping seperti air kran dan W.C.


Tahun 1959 bulan Maret saya selesai dengan studiku sesudah belajar selama 3 semester dengan meraih ijazah M.Sc.Ketika saya melaporkannya kepada Dekan, yang pada waktu itu dijabat oleh Prof.Dr.Thojib Hadiwidjaja, kami dapat balasan untuk segera pulang karena Fakultas kekurangan tenaga pengajar. Padahal tadinya kami ingin jalan-jalan dulu melihat-lihat Amerika mumpung sudah berada disana. Jadi kita langsung kemas-kemas barang-barang dan buku-buku kami termasuk sepeda roda tiga buat anak tercinta yang kami tinggal di Indonesia dan kami titipkan di budenya di Surabaya. Termasuk mengirim mobil kami, Plymouth 1953 yang kami beli sebagai used car seharga USD 394,- pada akhir 1957. Kami bawa sendiri ke EMKL di pelabuhan New York , bersama dua kawan lain yang juga mau pulang, yaitu Santosa dan Hersubeno. Maklumlah semua cari murahnya, walaupun harus susah-payah sedikit.Jarak Syracuse – New York City l.k. 500 km hanya kami tempuh dalam 7 jam. Maklum liwat jalan tol dan peta jalan mobil di Amerika baik sekali sehingga kami mudah menemukan jalan walaupun kami baru pertama kali jalan dan masing-masing sopir didampingi co-pilot yang handal. Co-pilot saya ya isteri saya. Jadi keinginan melancong kami tunda dulu karena tugas menunggu. Selesai berkemas kami lalu pamitan ke kantor Rockefeller Foundation di New York City dan langsung mengurus ticket untuk pulang. Di kantor yayasan kami ada kejutan karena sebagian biaya kirim barang, yaitu biaya kirim buku-buku diganti oleh yayasan. Lumaayan, jadi kami punya USD 80,- extra untuk bekal pulang. Waktu itu masih berlaku larangan lalu-lintas devisa maka uang USD yang lebih dari biaya jalan pulang harus kami “selundupkan” masuk ke Indonesia. Sesudah mikir sejenak uang asing lebih yang kami masih punyai kami masukkan kedalam tustel photo; kebetulan yang kami punyai adalah model reflex atau kotak. Jadi ruang didalam tustel cukup longgar.