Wednesday, May 9, 2007

1. Masa Kanak-kanak Bapak

Kakek dan nenek saya dari fihak bapak bernama Eyang Soehodo suami - isteri. Kakek bekerja sebagai naib di Somoroto . Ayah saya bernama Amrihi dan merupakan anak yang ke - 5 dari enam orang bersaudara Beliau lahir pada tahun 1890 , dan mengambil nama tua Hardjodarsono.

Kakek dan Nenek saya dari fihak ibu bernama Soemeh dan Martoenoes Prawirasetjo. Kakek bekerja sebagai penilik sekolah desa di Purwodadi Grobogan. Nenek sebagai ibu rumah tangga “nyambi“ berjualan zat pewarna buat kain batik. Mereka tinggal dijalan di belakang Kabupaten didepan rumah pegadaian negeri. Ibu saya adalah anak pertama dari 13 orang bersaudara. Dua diantara mereka meninggal sewaktu masih kecil.Yaitu kakak dan adik Pak Maroeto, atau anak yang ke-9 dan ke-11. Nama Ibu saya adalah Siti Solekah dan lahir pada tahun 1894.


Saya terlahir sebagai anak ke-6 dari 7 bersaudara pada tgl. 4 Maret 1925 dengan urutan sebagai berikut: Toepik Samingatoen ( 1911 ), Koen Soedarmi (1914), Muh.Subadi (1917), Moertosijah (1919),Mara’atoen Sri Hartati (1922), Muh.Soenarjo (1925) dan Muh. Samadikoen (1931). Tahun lahirnya ada yang kira–kira. Saya lahir Rebo Kliwon tgl.4 Maaret dan sempat jadi anak bungsu selama 6 tahun.

Di Muntilan kami tinggal di rumah sudut antara jalan di belakang kawedanan dan jalan kearah Talun -Dukun. Dihalaman depan rumah ada pohon kelengkeng dua batang . Tempat saya bermain diasuh oleh Ninek Doemilah, yang orangnya sudah tua dan kecil, tapi masih kuat menggendong saya , walaupun kaki saya sudah hampir klengsreh ditanah. Disamping Ninek masih ada Harkamat, seorang siswa sekolah guru yang ngenger, putranya pak Lurah Padasoka, yang bertugas mengejar-ngejar saya kalau sudah sore saya tidak mau mandi. Masih ada lagi seorang yang membantu didapur dan seorang yang khusus memelihara kuda. Pak gamel ini kadang-kadang mengajak saya menggonceng kuda kalau ia memndikannya di sungai.

Di antara kakak – kakak yang seingat saya waktu itu ada di Muntilan adalahYu Darmi,yang sekolah di MULO, di Magelang.Tiap hari di jam 5 pagi sudah berangkat dari rumah, jalan ke setasiun kereta api. Dari sana naik kereta api ke Magelang . Sorenya baru sampai dirumah lagi. Begitu setiap hari kalau sekolah tidak libur. Kakak–kakak yang lain semuanya nderek Eyang di Purwodadi. Sebabnya karena di Muntilan tidak ada sekolah dasar negeri yang disebut H.I.S. ; Muntilan hanya sebuah kota kawedanan, kalau Purwodadi adalah kota kabupaten. Memang dijaman Belanda dulu orang mau sekolah tidak mudah.Di kecamatan atau desa hanya ada sekolah dasar 2 tahun atau 3 tahun Di kabupaten baru ada SD 7 tahun.SMP baru ada dikota karesidenan dan SMA di kota-kota setara propinsi.

Sebagai penilik sekolah desa Bapak saya sering harus pergi memeriksa sekolah-sekolah yang ada di wilayah tugasnya. Untuk itu ia mempunyai satu sepeda dan dua ekor kuda. Pada suatu hari saya ingin mencoba menaiki sepeda ayah yang di- “ standar “ di dekat kandang kuda. Saya mencoba menaikinya ketika tak ada orang melihatnya. Akibatnya sepedanya roboh dan lengan kiri saya terkilir karena tertindih oleh sepeda itu. Lengan kiri saya sampai sekarang masih “ ceko “.

Tanggal 23 Maret 1931 adik saya lahir dan diberi nama Muhammad Samadikoen. Nenek datang dari Purwodadi untuk menengok Ibu dan adik baru. Sesudah beberapa waktu menunggui Ibu dan hendak pulang ke Purwodadi beliau bertanya kepadaku apakah aku mau ikut dan masuk sekolah disana. Tanpa ragu aku mau, maka ikutlah aku ke Purwodadi bergabung dengan putra dan cucu-cucu Eyang yang lain.Waktu itu disana sudah ada putra eyang yang lain, Bu Debeng , ibunya dik Hanum,Bu Yah,Pak Maruto, Pak Muh dan Pak Har,yang umurnya sebaya dengan saya.Terus ada Yu Moer, Yu Sri, dan kemudian Dik Asiyah, putra pak Byakto. Jadi mendadak saya dari “anak ragil“ yang seperti raja dirumah orang tua sendiri menjadi anak yang ke-9 dirumah Kakek dan Nenek , kalau dihitung menurut urutan umur . Jadi banyak hal yang tadinya tinggal minta atau tinggal suruh saja, sekarang harus saya lakukan sendiri. Seperti mandi, makan , melipat selimut, menebahi tempat tidur dlsb. Kalau makan juga mulai belajar bagi-bagi; kalau biasanya telor satu dimakan sendiri dirumah Eyang berlaku aturan asrama, semuanya harus dibagi rata. Sesudah beberapa waktu saya juga dimasukkan sekolah di HIS, bersama dengan Pak Har karena kami umurnya sebaya . Maka saya juga harus belajar disiplinnya anak sekolah.Tiap jam enam sore semua harus makan dan kemudian belajar bersama dimeja makan Tiap pagi jam setengah enam sudah mandi.Jam 6.00 sarapan pagi dan kemudian berangkat sekolah berjalan kaki. Barangkali jarak ke sekolah kurang lebih setengah kilometer.Jalannya diperkeras dengan kricak,batu pecahan, jadi cukup tajam. Padahal waktu itu belum jamannya anak SD sekolah pakai sepatu.

Halaman rumah eyang luas dan dapat dipakai main bola dengan bola kertas atau jeruk muda. Anak-anak tetangga juga ikut main, antara lain putera- putera kepala pegadaian yang rumahnya berseberangan.

Di pertengahan tahun 1934 Eyang mau boyong , kembali kerumah beliau di Ponorogo Maka “asrama “ Eyang bubaran. Bu Debeng, Bu Yah dan Yoe Toepik sudah menikah.Pak Maroeto pindah sekolah ke Bandung , Pak Har ikut ke Ponorogo. Sementara itu Bapak dan Ibu saya sudah pindah ke Magelang, yang ada HIS-nya ..Maka Pak Moeh, Yu Moer,Yu Sri dan saya kembali ikut Bapak dan Ibu di Magelang Pak Moeh dan Yu Sri ke MULO dan aku meneruskan di kelas 4 HIS. Rumah Magelang jadi penuh juga karena ada juga putra-putra Pak Siener Muntilan yang nderek disana, yaitu dik Tomo yang di MULO dan dik Bawoek dan dik Slamet di HIS.

Maka aku tidak kebagian tempat tidur didalam rumah, melainkan kalau malam harus tidur diemperan atau terras depan dari umah kami di Gang Greja 11, Magelang. Bersama dengan Daris dan Djan, dua orang siswa sekolah guru yang ngenger di Bapak-Ibu.Terrasnya ditutup dengan kerai dari bambu dan bagor dan kami tidur ngampar tikar pandan diatas karpet dari serabut kelapa, jadi tidak dingin .Tapi kadang-kadang kalau terang bulan kami sengaja tidur dihalaman dibawah pohon manggis diatas koral. Karena Daris dan Djan sudah besar dan merokok , saya diam-diam juga belajar merokok.Tapi disamping belajar merokok dari mereka saya juga belajar beberapa tembang Jawa, seperti Dandanggula, pucung dan sinom .

Sesudah tamat HIS, atas anjuran kepala Sekolah, Meneer Schuurink, saya dengan tak usah ujian meneruskan ke kelas percobaan MULO. Kalau mau langsung ke kelas 1 mesti dengan ujian. Kalau di HIS.guru yang bangsa Belanda hanya kepala sekolahnya saja.Di MULO semua gurunya Belanda Ingat saya kepala sekolahnya namanya meneer P. Piena, wali kelas kami meneer Landsman dan guru pengetahuan alamnya masih sangat muda dan baru saja datang dari negara Belanda, Mejuffrow Sloof.