Thursday, May 10, 2007

8. Studi di Luar Negeri


Latihan itu ternyata ada gunanya. Pada bulan Juli 1957 alhamdullillaah saya beruntung memperoleh beasiswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar di Amerika Serikat. Ada seorang professor dari lembaga itu yang sedang tugas di Singapura dan akan menemui saya untuk wawancara dan untuk menguji saya apakah kemampuan saya tentang bahasa Inggeris mencukupi untuk mengikuti kuliah di negeri Paman Sam. Ternyata system yang saya gunakan untuk belajar bahasa Inggeris seperti saya ceritakan di atas itu mencukupi untuk dinyatakan lulus.Maka pada bulan September tahun itu juga saya berangkat ke USA. Saya memilih bidang studi pembuatan kertas di New York State College Of Forestry at the University of Syracuse, New York.


Saya berangkat awal September 1957. Aturannya saya dicoba dulu selama 1 semester. Kalau saya dapat meraih B – average maka isteri boleh menyusul. Walaupun selama 2 bulan pertama di Syracuse saya hampir-hampir tak bisa menangkap pembicaraan orang dengan baik karena slang mereka , pada akhir semester ternyata saya memenuhi persyaratan berkat bimbingan Allah Yang Maha Murah. Maka saya boleh terus belajar 1 tahun lagi dan sang isteri boleh menyusul atas biaya dari Yayasan.


Maka Oemi menyusul bulan January 1958. Menuruti saran dari bibinya, Ibu Sajono, ia bepergian dengan berpakaian kain kebaya agar tidak diperlakukan sebagai Negro. Padahal waktu itu sedang winter dan di Syacuse winternya cukup keras, sehingga kalau sedang ada badai temperaturnya bisa turun sampai minus 23 derajad Celcius. Dan pada waktu ia datang sedang ada hujan salju. Maka ia sempat sakit beberapa hari dulu sebelum dapat menikmati pemandangan.


Kami di Syracuse boleh tinggal di “ Student’s Housing “, suatu perumahan sederhana yang relatif murah. Tetangga kami semuanya mahasiswa yang sudah beristeri, sebagian terbesar orang Amerika, tetapi banyak juga yang dari negara lain. Berseberangan dengan rumah kami tinggal keluarga Brock, suaminya Bob dan isterinya Dorothy. Dia bekerja sebagai perawat dan baik hati sekali. Tiap kali dia mau ke swalayan selalu menawari Oemi, mau ikut atau tidak. Jadi sang isteri tidak terlalu kesepian walaupun saya tinggal kuliah sepanjang hari. Kami juga menemukan seorang teman orang sana, yaitu Dick dan Beth Sturley, yang menganggap Oemi itu seperti adiknya sendiri. Suasana pergaulan di Syracuse juga cukup hangat bagi kita waktu itu karena disana banyak orang Indonesia yang juga sedang belajar di berbagai jurusan di Syracuse. Kebetulan yang bawa isteri cuma saya. Jadi banyak diantara mereka yang suka berkunjung kalau kangen makan masakan Indonesia. Di kota lain , Ithaca , juga ada keluarga-keluarga Indonesia lain, diantaranya Keluarga Tedjasukmana dan Bapak dan Ibu Selo Soemardjan. Kami sesekali juga berkunjung kepada mereka , karena jaraknya “cuma” l.k. 90 km dari Syracuse. Di Syracuse kami juga mempunyai teman-teman akrab dari negara-negara lain seperti van de Ent dari Belanda, Mr.Lie dari Taiwan, Yasuda San dari Japan, dan Cora serta Terry de Mendoza suami isteri dari Filippina . Maka keadaan dan pergaulan kami cukup hangat. Teman-teman mahasiswa tidak hanya pria, tapi yang wanita juga ada beberapa seperti Rochyati dan Sri dari ITB , Dida dari Makasar dan ada satu lagi yang saya lupa namanya. Malah dimusim gugur 1958 Sri, Rochyati dan kami berdua camping bersama di pegunungan Adirondacks. Tidak tidur di hotel tapi kami membeli tenda dan tidur di National Parks, dimana sudah tersedia fasilitas untuk camping seperti air kran dan W.C.


Tahun 1959 bulan Maret saya selesai dengan studiku sesudah belajar selama 3 semester dengan meraih ijazah M.Sc.Ketika saya melaporkannya kepada Dekan, yang pada waktu itu dijabat oleh Prof.Dr.Thojib Hadiwidjaja, kami dapat balasan untuk segera pulang karena Fakultas kekurangan tenaga pengajar. Padahal tadinya kami ingin jalan-jalan dulu melihat-lihat Amerika mumpung sudah berada disana. Jadi kita langsung kemas-kemas barang-barang dan buku-buku kami termasuk sepeda roda tiga buat anak tercinta yang kami tinggal di Indonesia dan kami titipkan di budenya di Surabaya. Termasuk mengirim mobil kami, Plymouth 1953 yang kami beli sebagai used car seharga USD 394,- pada akhir 1957. Kami bawa sendiri ke EMKL di pelabuhan New York , bersama dua kawan lain yang juga mau pulang, yaitu Santosa dan Hersubeno. Maklumlah semua cari murahnya, walaupun harus susah-payah sedikit.Jarak Syracuse – New York City l.k. 500 km hanya kami tempuh dalam 7 jam. Maklum liwat jalan tol dan peta jalan mobil di Amerika baik sekali sehingga kami mudah menemukan jalan walaupun kami baru pertama kali jalan dan masing-masing sopir didampingi co-pilot yang handal. Co-pilot saya ya isteri saya. Jadi keinginan melancong kami tunda dulu karena tugas menunggu. Selesai berkemas kami lalu pamitan ke kantor Rockefeller Foundation di New York City dan langsung mengurus ticket untuk pulang. Di kantor yayasan kami ada kejutan karena sebagian biaya kirim barang, yaitu biaya kirim buku-buku diganti oleh yayasan. Lumaayan, jadi kami punya USD 80,- extra untuk bekal pulang. Waktu itu masih berlaku larangan lalu-lintas devisa maka uang USD yang lebih dari biaya jalan pulang harus kami “selundupkan” masuk ke Indonesia. Sesudah mikir sejenak uang asing lebih yang kami masih punyai kami masukkan kedalam tustel photo; kebetulan yang kami punyai adalah model reflex atau kotak. Jadi ruang didalam tustel cukup longgar.

Wednesday, May 9, 2007

7. Allah Maha Murah



Selesai menjalani praktek di tingkat ke-5 saya harus menyusun skripsi dan menempuh ujian akhir. Menurut jadwal yang saya susun nanti bulan Agustus 1955 semua skripsi dan ujian insya ‘Allah bisa saya selesaikan dan kemudian cari pekerjaan, dan kalau tak ada aral melintang terus menikah. Akan tetapi lagi-lagi dari kenyataan terbukti bahwa manusia boleh mempunyai keinginan , tapi akhirnya Tuhan yang menentukan. Jadwal yang sudah saya rencanakan bubaran. Karena pada awal triwulan 2 ketika dari 5 mata kuliah yang harus saya tempuh saya baru menyelesaikan 3, datanglah “ himbauan “ dari calon mertua : Nak, kalau mungkin kalian nikahlah segera, karena sesudah kalian masih ada dua pasang lagi yang menunggu gilirannya. Malah sudah dicarikan hari yang baik. Bagi kalian hari yang terbaik jatuh pada tanggal 23 Juli !”.


Jadi, apa yang mau dikata? Ya sendika saja, calon menantu hanya bisa matur : “ Sami’na wa atho’na “, saya mendengar dan saya patuh. Pikiran saya jadi harus “ banting setir “ , bukan memikirkan ujian akhir, tapi kearah segala konsekwensi dari langkah yang namanya menikah. Sesudah menikah harus tinggal dimana , karena harus keluar dari asrama; penghasilan saya apakah cukup kalau dimakan orang dua?.


Tetapi ternyata Allah memang benar-benar Maha Murah. Secara kebetulan saya mampir dirumah mas Bagijo di Sempur, seorang teman yang baru lulus dokter hewan dan sedang menunggu penempatan. Dia berceritera , bahwa dia sudah harus berangkat ke Bima, sebagai kota penempatannya yang pertama. Saya bertanya : “ Apakah sekaligus mau boyong sekeluarga ?” Maksud saya apakah isterinya yang bekerja sebagai Assisten Apotekeres di apotik Rathkamp sekaligus mau diajaknya. Jawabnya : “Niat kami iya, untuk menghemat biaya” .Pikir saya “ Nah untung ini . Buat calon isteri ada lowongan pekerjaan.” Itu saya ceriterakan kepada mas Bagijo dan isterinya. Sambil menanyakan kepada mbakyu Bagijo bagaimana caranya melamar kepada sang Kepala Apotik supaya sang isteri nanti bisa bekerja di apotik itu. mBakyu Bagijo menjelaskannya kepada saya dan memberikan saran-sarannya. Alhamdullillaahi Robbil’alamin. Secepat mungkin saya usahakan syarat-syarat yang perlu untuk mengajukan lamaran. Kemudian saya mengajukan lamaran dengan menghadap sendiri kepada Mejuffrouw van JOOST, kepala apotik tersebut. Berkat rakhmat Allah Yang Maha Murah lamaran diterima, jadi satu masalah yaitu ongkos hidup sehari-hari sudah tercukupi. Alhamdulillaah, sang calon isteri sudah dapat pekerjaan tanpa susah payah untuk mencarinya.


Sekarang yang perlu dipikir adalah tempat tinggal. Waktu itu saya bersama 6 orang teman lainnya menyewa sebuah rumah yang cukup besar, yaitu di Gang Menteng nomor 34, dan mengaturnya seperti asrama. Tiga bulan sekali kami bergantian jadi “ibu asrama” yang mengatur menu makan sehari-hari dan mengatur pembayaran listrik dan air. Kebetulan sekali, waktunya seperti sudah diatur oleh Yang Maha Suci, yang empunya rumah menawari kami, apakah kami mau pergi kalau rumah ada yang mau beli. Kami jawab , itu bukan soal asal kami semua dicarikan tempat tinggal pengganti Buat fihak yang mau beli rumah rupanya itu juga bukan soal yang amat susah. Dalam waktu yang tidak lama Untung yang sudah berkeluarga dan saya yang mau nikah masing-masing dapat fasilitas yang terpisah cocok buat sebuah keluarga. Untung dapat beberapa kamar di Sawojajar dan saya dapat pavillioen di Jl. Pangrango 14 yang terdiri dari dua kamar, dapur dan kamar mandi. Sungguh tempat tinggal yang sangat mencukupi. Sisanya lima orang bujangan bersama-sama memperoleh di Jl.Tampomas nomor 9. Alhamdulillaah lagi; Sungguh Allah itu memang Maha Murah.


Tinggal kepada Panitia Ujian saya masih perlu mohon apakah jadwal ujian saya boleh dirobah. Walupun mulanya agak heran, tetapi sesudah diberi penjelasan alasannya, maka Panitia Ujian Sarjana dapat menyetujuinya. Jadi atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa maka pernikahan dapat dilangsungkan tanpa halangan pada tanggal 23 Juli 1955. Ujian akhir yang tertunda baru dapat saya selesaikan Desember 1955.


Waktu itu belum sulit untuk mencari pekerjaan. Ketika saya berbicara dengan mas Tjahro Nurkamal, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kimia Hasil Hutan, bahwa saya ingin membantu beliau di lembaganya, langsung saja beliau menerima saya dan diberi tugas di Seksi Kertas, sesudah saya beritahukan , bahwa saya pernah bekerja praktek di pabrik kertas Padalarang selama dua bulan.


Tetapi belum lama saya bekerja disana saya dipanggil oleh Prof.Dr.Soetrisno Djoened Poesponegoro yang waktu itu menjabat Dekan Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan . Beliau berkata : “ Yo, kamu kembali saja bekerja di Fakultas karena orang-orang Belanda mau pada pulang semua, jadi perlu tambahan tenaga di Jurusan Kehutanan .” Maka pertengahan tahun 1956 saya kembali ke Fakultas menjadi Assisten dan mengajar Sylvikultur dan Bangunan Hutan,yaitu bagaimana masang rel lori , bikin jembatan dan membangun gudang-gudang untuk tempat penimbunan kayu jati yang sudah olahan.


Tahun 1956 tanggal 7 Juli kami dikaruniai oleh Allah anak kami yang pertama. Ayah saya memberinya nama Rini Narjati dan kami sendiri Andajani, supaya memberi semangat kepada orang tuanya. Sesudah mempunyai anak sang isteri tidak mau lagi bekerja karena ingin mengasuh anak kami sebaik-baiknya. Saya setuju saja asal dia mau terima apa adanya.Sebagai pegawai perusahaan swasta gaji dia lebih dari Rp.900,- apa lagi kalau ditambah bonus dinas malam kadang-kadng dia menerima lebih dari Rp.1.300,- pada hari gajian. Sedang saya sebagai pegawai negeri yang baru mulai bekerja hanya menerima Rp.421,- sebulan. Untung masih ada kesempatan mengajar di SMA sore hari dan pekerjaan terjemahan.


Tapi kami bahagia di Jl.Pangrango 14 pav. Kakak-kakak yang tinggal di Jakarta sering berkunjung dan tak jarang oleh-oleh alat pengisi rumah, karena rumah masih kelihatan kosong. Waktu kami baru nikah malah yang kami punyai hanya mebel kamar seorang mahasiswa, yaitu 1 amben , 1 meja belajar dan 1 kursi dan 1 kursi santai , sudah itu saja . Maka teman-teman yang berkunjung untuk memberi ucapan selamat menikah terpaksa duduk di jendela, karena kursi santainya hanya bisa menampung dua orang. Mejanya untuk menaruh cangkir-cangkir adalah peti bekas yang ditengkurebkan dan ditaplaki. Berkat sumbangan kakak-kakak dan karena isteri langsung dapat bekerja, dua kamar yang kita tempati lambat laun berisi. Kebanyakan dengan mebel-mebel bekas yang kami beli dari guru-guru besar yang pada mau pulang ke negeri Belanda.


Dari Ibu Magelang kami dibekali pembantu mbok Nem yang ikut bersama kita dengan anaknya Tuminah. Dia pinter masak karena pernah ikut cina yang usahanya warung makan. Di Pangrango Pak Wowok lalu datang tinggal bersama kita. Karena kurang ruang Pak Wok ya cuma disinggedkan “ kamar “ dengan gordijn di ruang tamu. Karena pernah mengalami jaman-jaman yang lebih sulit, maka keadaan yang agak-agak sempit yang kami alami kita anggap sudah lumayan dan patut kita syukuri.


Sejak awal saya ingin menambah kemampuan saya dalam menggunakan bahasa Inggeris, tapi pada waktu itu belum banyak adanya kursus. Jadi aku mengarang sendiri suatu sistim belajar sendiri. Orang belajar suatu bahasa pada pokoknya mengetahui banyak kosa - kata, tahu sedikit tata bahasanya, mengerti kalau ada orang bicara dan orang lain dapat menangkapnya kalau kita mengatakan sesuatu. Maka tiap hari selama 1 jam saya membaca novel dengan menggunakan kamus untuk mencari arti kata-kata yang saya tidak mengerti, mendengarkan siaran berita dari BBC atau Australia, menterjemahkan satu atau dua alinea dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggeris dan membaca satu atau dua halaman secara keras-keras agar melatih kemampuan pengucapan.

6. Menginjak Dewasa


Sementara itu ayah dan ibu Oemi beserta putera-puterinya sudah dirazia oleh Belanda dan disuruh kembali dari pengungsiannya di Wonokerso, lebih-kurang 3 km. dari Magelang. Kemudian diangkut ke Jogja. Disana Oemi mendaftarkan kembali di Gajah Mada, di Fakultas Kedokteran. Sambil kuliah kalau sore dia bekerja di Apotik Malioboro. Dengan surat –menyurat komunikasi kami jalin kembali dan waktu berduaan hanya bisa kalau sedang liburan. Waktu terus berjalan dan alhamdulillaah sayapun dapat mencari nafkah sambil kuliah. Menjadi guru honorer di SMA atau SGA, menjual diktat, dan kadang-kadang yu Moer yang bekerja di toko buku dapat mencarikan pekerjaan terjemahan dari bahasa Belanda atau Inggeris ke dalam bahasa Indonesia. Kecuali itu sejak duduk di tingkat 2 saya dapat beasiswa sebesar Rp.175,- /bln. Saya memberi pelajaran rata-rata 24 – 28 jam/minggu. Berarti itu saya harus mengajar dari jam 16.00 sampai jam 20.00 atau kadang –kadang jam 21.00 tiap hari, enam hari seminggu. Uang honor mengajar , menterjemah dan jual diktat yang saya terima setiap bulannya sampai Rp.500,- - Rp.600,-. Lumayan , karena uang pondokan hanya Rp.125,- per bulan. Jadi saya termasuk mahasiswa “kaya” waktu saya kuliah. Maka kalau beli baju milih yang merk ARROW, kalau saputangan ya Pyramid.

Di tahun studi yang ke-3 dan ke-4 dikurikulum jurusan Kehutanan ada m.k. Praktek Lapangan ; untuk m.k. Perencanaan Hutan 4 bulan, dan untuk m.k. Pengelolaan Hutan 2 bulan. Tempat prakteknya di Salatiga dan Madiun. Jadi ada kesempatan untuk “ appel “ yang lebih sering ke Jogja. Tahun 1954 Oemi dan saya bertunangan atas persetujuan para orang tua.Bersamaan dengan Murni dan Regawa.

5. Memenuhi hasrat untuk terus belajar.


Selama ikut laskar selama hampir 3,5 taahun saya betul-betul ikut berperang bedil-bedilan hanya dua kali , walaupun ikut ke frontnya 3 atau 4 kali. Sisa waktu ya cuma mengobrol di markas atau nyatut cari uang saku. Maka pada pertengahan 1946 beberapa orang diantara kita lalu punya gagasan untuk bikin studiklub; ada yang ingin menambah tentang pengetahuan bahasa asing, ada yang ingin ilmu pasti dan fisika dan ada yang ingin tambah ilmu sosial dan politik. Sesudah studiklub berjalan beberapa lama ada yang punya ide untuk meningkatkannya menjadi kursus SMA. , karena tinggal menambah beberapa mata ajaran lagi. Maka bekerjalah kami untuk mencari fasilitas dan dukungan ke arah pembentukan SMA. Terutama mencari tenaga-tenaga guru yang kira-kira dapat membantu.


Ternyata bantuan dan dukungan itu tidak terlalu sulit kita dapat, karena hampir semuanya yang kita datangi dengan senang hati memberikan apa yang kita minta. Maklumlah suasananya suasana perjoangan, jadi semuanya ingin membantu tanpa bertanya tentang ada honornya apa tidak. Ditambah karena waktu itu ada dua kementerian yang mengungsi ke Magelang.Yaitu kementerian Keuangan dan kementerian Kemakmuran. Jadi kita cukup cepat mendapat semua tenaga guru yang kita perlukan.Untuk mata ajaran biologi , dr. Soemalyo, Kepala Rumah Sakit Tidar, untuk kimia dr.Samsoenarjo, dokternya Lasykar Rakyat, untuk goniometri Ir.Lie Kepala PDAM Magelang , untuk ekonomi Drs.Hermen Kartowisastro , top-one nya ekonomi Indonesia pada waktu itu yang lulusan sekolah di Negeri Belanda , dst., dst.. Disamping itu kami menemukan Pak Soedarsono, seorang kepala sekolah SMA di Salatiga yang kebetulan mengungsi di Magelang. Atas permintaan kami beliau dengan senang hati memegang pimpinan kursus SMA yang baru saja jadi. Maka ditahun berikutnya , yaitu tahun pelajaran 1947 – 1948 kursus yang baru berumur 1 tahun sudah menjadi sekolah SMA resmi. Kami mulai kursus tersebut dengan kelas 2, karena semua anggota studiklub asalnya sudah tua semuanya, dan rata-rata sudah pernah bekerja. Tapi kelas 1 - nya lekas juga terisi karena banyaknya pengungsi dari kota lain, seperti Ambarawa dan Salatiga. Di akhir tahun pelajaran semua pendiri kursus dinaikkan ke kelas3, walaupun mereka sering terpaksa membolos karena ada tugas.


Sekali peristiwa dengan 4 orang lainnya anggota lasykar saya mendapat tugas untuk membantu mengatasi kelangkaan garam dapur di kota Magelang. Yaitu dengan membawa serangkaian dari 5 gerbong barang kereta api yang kosong dari Magelang ke Pasuruan dan mengisinya penuh dengan garam serta membawa kembali gerbong-gerbong itu ke Magelang untuk mengisi gudang garam kota yang kosong. Itu pengalaman yang penuh dengan romantika.


Di tiap setasiun utama dimana formasi kereta harus disusun kembali kami harus pandai berdiplomasi dengan tukang langsir.Baru waktu itu kami mengetahui bahwa tukang langsir lebih penting dari Kepala Setasiun dalam berusaha agar gerbong kosong kami tidak dibajak oleh orang lain dan bisa ikut dalam rangkaian kereta yang paling cepat menuju ke Pasuruan.


Di pelabuhan Pasuruan juga perlu strategi dan kepandaian bernegosiasi agar gerbong kami lekas terisi semuanya. Di perjalanan pulang kecuali harus berteman baik dengan para tukang langsir juga harus extra waspada agar gerbong-gerbong kami selamat sampai Magelang lagi masih penuh dengan muatan garamnya.


Juga teman-teman lain tidak jarang harus meninggalkan pelajaran karena tugas-tugas yang serupa. Jika terpaksa absen dari pelajaran seperti itu sepulangnya dari tugas kami terus menyusul dari ketinggalan belajar dengan meminjam catatan dari teman-teman dan menyalin pelajaran yang kami tidak dapat ikuti. Demikian pula kalau ada guru yang terpaksa absen karena tugas. Kami terus menggantinya dengan teman yang paling pandai didalam mata ajaran yang bersangkutan. Lalu kami bikin soal-soal bersama dibawah pimpinan teman yang pandai itu. Jadi walau guru kami terpaksa absen , setidaknya pelajaran dapat berjalan terus.Memang semangat belajar pada waktu itu dikelas kami cukup tinggi. Itu juga dihargai oleh guru-guru kami. Contohnya sesudah beberapa kali saya absen belajar dan ketinggalan dalam pelajaran, guru kimia menanya kepada saya : “ Jo, kamu mau angka berapa ? “ . Saya jadi agak heran juga dan menjawab : “ Berapa saja deh Pak. Asal bisa naik kelas “. Saya diberi angka 7.


Di kelas 2 itu saya mulai mengenal sang calon isteri. Karena tertua umurnya , yaitu ketika itu saya sudah 21 tahun, saya terpilih sebagai Ketua Kelas. Demikian juga karena sudah bekerja sang calon isteri dipilih menjadi Wakil Ketua Kelas. Kelasnya ya cukup besar. Ingat saya muridnya lebih dari 30 orang. Pada akhir tahun pelajaran hampir semuanya naik kelas. Di kelas tiga saya terpilih lagi sebagai Ketua Kelas dan Oemi sebagai Wakil Ketua. Teman-teman sekelas matanya tajam sekali dan cepat melihat, bahwa Ketua Kelas mereka akrab dan asyik dengan wakilnya. Maka mereka memberi “gelar “ kepada kami dan memanggil kami Bapak dan Ibu.

Agustus tahun 1948 akhir tahun pelajaran. Kami semua menempuh ujian akhir. Sementara itu kursus kami sudah resmi menjadi S.M.A. Negeri Magelang. Yang lulus ranking 1 adalah yang namanya Soedarsono, nomor 2 Soejoedi, nomor 3 saya, nomor 4 Soenardjo dan nomor 5 Oemijati. Hampir semua murid lulus sebagai lulusan S.M.A. Negeri Magelang pertama di tahun 1948.


Banyak diantara kami yang ingin meneruskan belajar ke perguruan tinggi. Maka kami serombongan mendaftarkan masuk ke perguruan selanjutnya. Dulu pendaftarannya di Kelaten. Oemi pingin ke kedokteran, saya ke teknik jurusan teknologi umum. Saya malah sudah mendapat kartu mahasiswa dan sudah gundul untuk ikut perpeloncoan. Rencana sudah dijalin, tetapi Allah menetapkan lain.

Pada tanggal 19 Desember 1948 mendadak Belanda menyerang . Waktu itu saya sedang di depan asramanya mbak Ien karena sudah janji mau bareng ke Magelang. Jam 6.00 pagi Maguwo dibom dan tentara payung mendarat, gedung didepan asrama mbak Ien di Gondokusuman ditembaki oleh sebuah kapal terbang yang terbang rendah. Saya terus pulang ke Magelang dengan jalan kaki. Beberapa hari kemudian Magelang juga diduduki. Mereka datang dengan tank dan mobil baja dari Semarang. Belanda menamakannya “ Aksi Polisionil ke-II “.


Bersama dengan beberapa orang pemuda di Gang Nasrani, dik Gono Samekto dan kawan-kawan saya masuk ke kelompok Colonne Magelang, CM, karena berniat menentang Belanda. Kalau malam mengganggu patroli NICA, kalau siang saya berdagang . Keluar dan masuk kota menurut keperluan perjoangan . Kalau keluar kota saya membawa garam dan kemenyan untuk bumbu rokok dan kalau kembali masuk kota saya membawa satu tumbu beras dan kelembak dari Kaliangkrik. Waktu itu saya masih muda dan mampu memanggul beras sebanyak 20 beruk sambil menyeberangi Kali Progo yang kadang-kadang banjir dan dasarnya berbatu dan licin.


Di waktu itu Sam juga ada di rumah dan walaupun masih di SMP. sudah juga ikut TRIP, Tentara Pelajar Indonesia. Dengan kelompoknya dia jauh di Kaliangkrik di lereng gunung Sumbing yang jaraknya kira-kira 12 - 14 km. dari Magelang.


Pada pertengahan tahun 1949 Ibu saya mulai khawatir kalau-kalau pada kami kedua-duanya terjadi apa-apa bersama-sama . Maka beliau memanggil saya dan menghimbau kalau terjadi apa-apa janganlah pada dua-duanya. Maka salah satu sebaiknya pulang dan mencari cara lain untuk ikut berjuang. Maka berangkatlah saya menyusul pasukan TP dimana Sam bergabung di Kaliangkrik.Maksud saya untuk menemui Sam dan menyuruh dia yang tinggal di rumah memenuhi permintaan ibu. Sesudah perjalanan satu hari penuh ketemu juga Sam tinggi diatas lereng Gunung Sumbing dan saya sampaikan keinginan orang tua. Akan tetapi dia tidak mau pulang walau saya tunggu keputusannya beberapa hari. Jadi terpaksalah saya pulang dengan tangan hampa pulang ke Magelang. Dan menjadi kewajiban saya menuruti kehendak orang-tua . Saya terpaksa harus mengalah, tapi tak dapat terus tinggal di rumah, karena NICA, organisasi intelijennya Belanda , terus mencari pemuda-pemuda anggota gerilya. Maka dengan persetujuan Bapak dan Ibu aku berniat mengungsi ke Bali, dimana ada mas Badi yang jadi dokter di R.S. Sanglah, Denpasar Bali. Berangkatlah aku ke Bali bersama Soeroso, putera Pak Tedjo, tetangga disebelah rumah yang masalahnya sama. Di Bali sudah ada Eddy, adiknya yu Moes. Terus ada anak-anaknya mas Badi, Diani, Didi dan Doddy.


Perang kemerdekaan berjalan terus dan ada sedikit “ kemajuan “ dengan adanya perundingan-perundingan. Ada Renvlle, ada Linggarjati dan ada Meja Bundar. Ketegangan perang mereda dan rasa-rasanya peperangan akan berakhir. Maka saya mulai berfikir apakah sudah memadai kalau saya sekolah kembali.Sesudah beberapa waktu menimbang dan menelaah, terus berbicara dengan mas Badi dan yu Moes apakah mereka mau membiayai saya kalau saya sekolah lagi, pikiran saya sudah mantap, aku akan kembali ke sekolah. Saya minta tolong kepada mas Badi dan yu Moes untuk membiayai saya satu tahun saja. Kemudian saya dilepas saja. Niat saya sekolah sambil bekerja karena umur saya sudah tua. Maka saya lalu matur Bapak dan Ibu, mau bersekolah lagi ke Fakultas Pertanian Bogor, dengan biaya dari mas Badi.Bulan September 1949 saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa.

Walaupun menjelang umur 25 th., sebenarnya saya sudah terlalu “tua” untuk menjadi mahasiswa.

4. Ikut Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan

Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Tapi kami di Bayah baru mendengarnya pada akhir bulan Oktober, karena waktu itu orang tidak bebas boleh mendengarkan radio. Maka kami di Bayah Kozan berpesta pora Para tuan-tuan besar Jepang kami tangkapi, semuanya ada 48 orang. Semua pemuda yang pernah mengikuti latihan militer , termasuk saya, dikelompokkan menjadi barisan keamanan perusahaan. Perusahaan diambil alih dibawah pimpinan mas F. Soeharto, mantan kepala urusan keuangan di Bayah Kozan. Hubungan dengan Jakarta bersambung dan orang-orang Jepang disuruh dikirim ke Bogor untuk di-internir. Saya bersama 5 orang barisan keamanan lainnya yang disuruh membawa mereka ke Bogor dengan menumpang 3 truk melalui Rangkasbitung dan Jakarta. Di jalan berulang kali truk –truk kami disetop oleh barisan-barisan keamanan yang sudah terbentuk di tiap kecamatan. Dan kami harus menjelaskan dan menunjukkan surat jalan kami tiap kali, bahwa kami sedang membawa tawanan ke Bogor untuk di-internir. Baru jam 3.00 pagi kami bisa sampai di Bogor dan menyerahkan kawalan kami.

Minggu pertama dari bulan November berikutnya saya pamit dari Bayah untuk kembali ke Magelang. Ikut truk, jalan kaki atau naik kereta api kalau ada ruas –ruas yang K.A. –nya masih jalan. Maklumlah hampir semua jembatan sudah di bumi – hanguskan . Bawaan saya waktu pulang ke Magelang ya sama saja dengan yang saya bawa waktu berangkat ke Bayah; sebuah koper dari seng yang berisi beberapa lembar pakaian , papan gambar dengan alat gambar, dan sehelai tikar pandan untuk berbaring kalau dalam perjalanan kemalaman.


Tanggal 11 November sore saya tiba di setasiun k.a. Jogja. Di Hotel Merdeka yang terletak di depan setasiun rupanya sedang berjalan acara yang besar, yaitu Konggres Pemuda pembentukan organisasi PEMUDA SOSIALIS INDONESIA, seperti yang terbaca pada sebuah spandoek yang terpampang di depan hotel. Di dalam hati saya bergumam : “ Nah, ini cocok buat saya organisasi pemuda ini ; saya kan harus ikut berjoang .” Jadi sesudah beberapa hari mengaso dirumah saya mendaftarkan diri sebagai anggota Pesindo, karena ingin ikut ke front.


Di awal bulan Januari 1946 Lasykar Rakyat Magelang mengumpulkan sukarelawan yang mau dikirim ke front . Saya mendaftarkan diri sesudah matur kepada Bapak dan Ibu. Beliau mengizinkan saja. Ada beberapa puluh pemuda yang mendaftarkan. Tempat berkumpulnya di gedung sekolah HCS di jl.Tidar. Sebelum berangkat dilatih dulu memelihara dan menggunakan bedil. Yang dibagikan adalah tipe bedil laras panjang yang disebut Garand. Sesudah latihan seminggu diberangkatkanlah kami ke Ambarawa karena disanalah Markas Besarnya. Kemudian ke Srondol di selatan Semarang. Ngaso sebentar di rumah-rumah yang bekas di bumi – hangus, kemudian masih jalan lagi 5 - 6 km. ke front yang sebenarnya, yaitu dibukit-bukit sebelah selatan Semarang yang berbatasan dengan kampung Candi. Jadi kami disebar di perbukitan yang tiap hari mengalami serangan dari tentara Inggeris yang sudah mendarat dan kebanyakan terdiri atas orang-orang Ghurka dari India. Mereka mendapat bantuan dari kapal-kapal Inggeris yang berlabuh di depan pelabuhan kota Semarang yang menembakkan mortir-mortirnya ke arah kami bertahan, untuk membantu pasukan Ghurka mereka yang sudah mendarat. Di mana-mana do’a yang saya baca ya cuma Al Fatihah . saja yang terbukti memang ampuh. Selama lebih kurang dua minggu mengikuti pertempuran di sana kami kehilangan dua orang teman; yang satu karena kepalanya robek oleh pecahan mortir . Waktu kena dia cuma kurang dari 3 meter jaraknya dari saya di tempat kami bertiarap, padahal dia sudah memakai helm baja. Kedua kalinya teman saya ada yang kena peluru dadanya; jarak dia bertiarap cuma 1 meter dari saya.

Selama di front kami kekurangan makan dan kekurangan gizi.Karena kami hanya dikirim makan dengan mobil satu kali sehari dari markas di Ambarawa; kemudian dipikul orang dari Srondol ketempat kami bertahan. Orang yang memikulnya juga masih harus mencari kami presisnya berada dimana, karena selalu berobah tempat bergantung dari jalannya pertempuran.Jadi biasanya makan kita itu sampai pada kita antara jam 15.00 dan jam 17.00 sore. Padahal dimasaknya di dapur umum sudah dari tadi jam 4.00 pagi. Jadi nasi rata-rata sudah basi; dan lauknya selalu sama yaitu kol hijau yang ditumis atau dioseng-oseng. Maka kekurangan makan yang kami derita kami tambal dengan ubi atau singkong tanaman penduduk , dan apa saja yang dapat ditemukan yang bisa dimakan.

3. Belajar Berdiri diatas kaki sendiri


Pada Desember 1943 menjelang umur 18 tahun saya selesai belajar di Sekolah Teknik . Pemerintah Jepang bilang lulus kelas 4 sudah cukup bisa bekerja; tidak usah ada kelas 5. Malah sudah ada permintaan dari berbagai fihak untuk mempekerjakan kita, lulusan STM dari kelas 4. Kami para lulusan disuruh menentukan sendiri siapa kerja dimana, karena ada tempat kerja yang enak dan ada yang tidak enak. Yang enak seperti di Kereta Api dan Pekerjaan Umum.Yang tidak enak dilapangan terbang atau ditambang batubara. Sesudah berunding beberapa lama keputusannya baik di lotere saja., jadi adil.Maka kami semua menarik lotere,dan saya bersama 5 orang lulusan lainnya dapat tempat bekerja di tambang batubara, BAYAH KOZAN KABUSHIKI KAISHA, yang lokasinya di Banten Selatan,tanah berbukit yang waktu itu masih jarang penduduknya dan dimana malaria merajalela. Kecamatan Bayah penduduk aslinya adalah beberapa puluh keluarga nelayan dan beberapa ratus orang yang hidupnya dari pertanian sederhana. Maka dengan beroperasinya BAYAH KOZAN desa Bayah jadi mendadak ramai dengan kantor-kantor,rumah-rumah, warung-makan,took-toko dan gudang-gudang baru.Kebanyakan dibangun dari kayu dan bambu. Dan desa kecil itu mendadak jadi ramai dengan datangnya beberapa ratus pegawai dan pekerja baru.Kebanyakan pekerja tambang berasal dari orang desa Jawa Tengah dan Timur yang diambil secara paksa oleh Pemerintah Dai Nippon yang disebut ROMUSHA yang artinya kurang lebih golongan pekerja.Karena mereka diambil secara paksa , maka banyak dari mereka adalah orang-orang yang patah semangat , murung dan sedih, tidak mempunyai semangat kerja. Hanya sedikit yang bisa bekerja secara normal. Mereka rata-rata tak ada yang punya pakaian untuk berganti. Maka begitu datang dalam rombongan kepada mereka dibagi kan celana yang bahannya karung bagor atau goni.Banyaak diantara mereka yang mencoba lari,tapi tak tahu jalan sedang mereka juga tak punya bekal. Maka mereka keadaannya sangat mengenaskan dan banyak yang meninggal dunia dalam perjalanan mereka dihutan.


Di BAYAH KOZAN enam bulan pertama saya dipekerjakan sebagai PEMBANTU MANTRI UKUR dengan tugas mengepalai satu regu tukang rintis dan membantu Pak Mantri Ukur dengan pekerjaannya mencari Tracee jalan rel lori pengangkut produksi batu bara dari lobang yang digali ke terminal Kereta Api di Bayah yang jaraknya beberapa belas kilo meter termasuk tugas saya tiap pagi menyetel theodolit dititik terakhir hari sebelumnya dan merintis jarak yang akan diukur hari itu sedikitnya sudah bersih dari belukar dan lain-lain rintangan sepanjang 50 m. Sehingga Pak mantri tinggal mulai mengukur kalau nanti dia datang sekitar jam 8.00 pagi.Itu berarti tiap pagi sesudah subuh saya harus langsung berangkat dari pondokan ke tempat pekerjaan;kadang-kadang melalui sawah-ladang orang, tapi kebanyakan melalui belukar dan hutan belantara yang jarang diliwati orang.Itu perjalanan paling sedikit 3 atau 4 kilometer. Demikian pula nanti sore pulangnya. Karena pekerjaan mencari tracee itu tiap hari maju beberapa ratus meter, maka jalan pulang pergi dari pondokan ke tempat pekerjaan makin lama makin jauh. Kalau terasa sudah terlalu jauh, maka kami berpindah pondokan ke tempat yang lebih dekat. Dalam perjalanan pagi –sore yang demikian itu kami tak jarang menemukan seorang romusha yang sudah meninggal tersesat jalan.


Pekerjaan mencari tracee itu diperlombakan diaanatara dua team ukur.Tracee yang lebih baik nantinya yang akan dipakai .Sesudah dinilai oleh perusahaan ternyata yang menang bukan team Pak Mantri Ukur yang saya bantu

.

. Sesudah menjadi pembantu mantri ukur saya diberi tugas mengerjakan seruas jalan rel lori yang kemudian dibangun. Pekerjaannya ya cukup menantang karena harus dimulai dari awal sekali sampai akhir; dan dikerjakan semuanya dengan material yang hampir semuanya lokal. Jadi menyangkut galian dan urugan dalam membangun badan jalan untuk menembus bukit dan melintasi jurang kalau perlu dengan menggunakan dinamit. Kemudian dengan menebang pohon-pohon besar dan menaikkannya dari lembah-lembah yang cukup dalam dan curam untuk memperoleh bahan buat tiang-tiang dan gelagar jembatan-jembatan, dan membuat bantalan buat rel lori. Semuanya harus dikerjakan dengan tangan dengan alat-alat yang sederhana karena alat yang canggih tidak ada, seperti chainsaw dan alat-berat.Kami sering harus tinggal dipondok-pondok darurat,karena jauh dari desa-2 penduduk.Waktu itu di Banten Selatan penduduknya masih sedikit sekali; desa yang satu jaraknya bisa belasan kilometer dari desa yang lain. Tidak seperti di Jawa Tengah atau Timur yang padat penduduk. Pondok-pondok darurat tersebut lazimnya dibangun didekat lobang galian batu bara dan diberi nama dengan nomor saja, supaya mudah. Dalam pekerjaan itu saya tinggal dipondok Lobang 14.


Tiap hari Sabtu kami pulang ke Bayah untuk nanti Senen paginya berangkat lagi ketempat pekerjaan. Di Bayah para pemuda bujangan tinggal di bedeng-bedeng pemuda.Tiap bedeng terdiri atas 12 kamar dan tiap kamar dihuni oleh 2 orang bujangan.Kawan saya sekamar adalah Soedarsono , anak ahli listrik dari Surabaya. Seingat saya ada dua kelompok bedeng pemuda. Tiap kelompok terdiri atas tiga bedeng. Di kelompok bedeng atas ada ruang rekreasi terbuka untuk para pemuda main musik dan main biljard.Bedeng bawah terletak didekat perumahan pegawai yang sudah berkeluarga, diantaranya juga seorang kawan sekolah dari Jogja juga, Roesmadi namanya. Dibedeng atas ada pemuda yang namanya Kuspiran yang bisa jadi tukang cukur. Dibedeng bawah ada Ngenget yang pegawai gudang dan suka punya minuman keras yang ia curi dari gudang, yang biasanya jatahnya Tuan-tuan Besar Jepang. Jadi kalau malam Minggu kami sering berkumpul dikamar Ngenget dan bersama-sama menikmati “hasil karyanya” . Pada kesempatan yang demikian kami semua bergembira dan salah seorang selalu kami bikin mabuk dengan memberikan digelas minumnya sedikit abu rokok. Ini untuk menambah suasana gembira karena orang yang mulai mabuk biasanya bertambah gembira dan ngoceh macam-macam yang membuat orang tertawa. Ada juga yang menjadi pendiam atau murung. Tapi ada juga yang menjadi pemarah dan jahat. Satu ketika yang dibikin mabuk si Jacob, orang yang biasanya gembira dan jovial. Mula- mula ia memang menjadi lebih melawak dari biasanya, tapi sesudah minum lebih banyak dia ingat seseorang yang pernah menipu dia. Dia jadi marah-marah dan mencabut goloknya mau membunuh orang itu, yang pernah menipunya. Gegerlah kita semua dan merayunya untuk mengurungkan niatnya.Baru hampir satu jam kemudian dia bisa dihentikan dengan memberinya minum lebih banyak sampai betul-betul mabuk dan terus tidur.

Hari Minggunya kami sering main-main ke pantai sambil cuci mata kami menunggu para nelayan pulang dengan perahu mayangnya.Kadang-kadang kami memborong hasil tangkapan ikan mereka dengan harga Rp.300,- - Rp.400,- .Kemudian kami pilihi dulu yang enak-enak kami makan sendiri dan yang lainnya kami jual lagi. Yang tidak laku dijual kami asin untuk bekal berangkat bekerja lagi atau untuk oleh-oleh kalau pulang kampung. Dalam setahun kami boleh cuti dua kali karena pekerjaan kami dianggap lebih berat dari pekerjaan biasa

2. Menginjak Masa Remaja

Menjelang akhir tahun pelajaran Bapakbicara dengan saya,Beliau menganjurkan kepada saya untuk tidak melanjutkan sekolah di MULO ,tetapi pindah ke STM supaya saya lekas dapat bekerja sesudah tamat belajar selama 5 tahun. Kalau meneruskan di MULO,SMA dan seterusnya perlu lebih lama lagi sebelum bisa mencari uang. Beliau menganjurkan itu karena beliau sudah mendekati masa pensiun. Sebagai anak waktu itu saya cuma setuju saja.Maka pada permulaan tahun pelajaran masuklah saya menjadi murid TECHNISCHE SCHOOL SEMARANG ( TSS ) di Semarang. Di Indonesia hanya ada 4 sekolah semacam itu. Tiga yang lainnya adalah Koningin Wilhelmina School (KWS) di Jakarta, Prinses Juliana School ( PJS ) di Jogja dan Koningin Emma School (KES) di Surabaya Lamanya sekolah 5 tahun sesudah SD.

Di Semarang saya nderek Bapak dan Ibu Salijowidjojo. Ibu Salijo itu adik pancer Ibu saya.Putranya ada 5 yang umur-umurannya pas seperti adik saya Dik Latifah ,dik Noegroho, dik Tegoeh Asmar, dik Siti Marjam dan dik Dini.Panggilan sehari-harinya mereka Pah,Noe,Goeh, Genoek dan Toempoek.

Pada tahun itu Pak Moeh juga lulus MULO dan meneruskan ke Algemeene Middelbare School atau AMS. Juga nderek Bapak dan Ibu Salijo di Semarang .Disamping itu masih ada dua orang lagi yang nderek yang sudah bekerja , yaitu oom Dibjo yang bekerja di perusahaan rokok BAT dan oom Basoeki, entah dimana beliau kerjanya.Disamping itu masih ada 2 juru rawat yang “kost” juga disana yaitu yu nDari dan temannya.

Pada tahun 1942 Perang Dunia ke-2 yang sejak akhir 1938 melanda dunia sampai juga ke Indonesia. Pada bulan Maret 1942 bala tentara Dai Nippon (Jepang ) masuk di Semarang .Maka tentara Belanda dan Australia kocar-kacir karena tak tahan serbuan tentara Jepang yang datang tidak pakai tank dan truk, tetapi berjalan kaki menyusup-nyusup melalui jalan desa atau berkendaraan sepeda. Tentara Belanda mengalir ke Cilacap untuk menyeberang ke Australia. Persediaan pangan Belanda yang ditimbun dipasar-pasar dijaadikan bancakan oleh rakyat. Akupun ikut-ikut “menyerbu” dan dapat membawa pulang 1 kwintal beras walaupun sendirian dan hanya mengangkutnya dengan sepeda.

Oleh Pemerintah Jepang sesudah beberapa minggu sekolah sempat dibuka sebentar.Ya memang tak bisa jalan lama karena gurunya semua Belanda, hanya guru praktek kerja kayu yang orang Indonesia, bapak Soetardi.Jadi kami hanya disuruh bikin bedil-bedilan kayu tiap harinya untuk latihan baris-berbaris gerakan-gerakan pemuda yang didirikan pemerintahan Jepang, seperti Keibodan,.Seinendan dlsb. Disamping itu ada dua mata pelajaran baru, yaitu m.a. Budi Pekerti dan m.a. Semangat. Isinya ya tata tertib aturan bala tentara dan pemerintahan Jepang dan pengobaran semangat nasionalisme supaya kita pemuda-pemudi Indonesia berani melawan Belanda mempunyai semangat sebagai warga Asia Timur Raya dibawah pimpinan Dai Nippon, sebagai saudara tua. Disamping itu para gerakan pemuda-pemudi diajari baris-berbaris dan perang-perangan sebagai kerja-nyata. Maka itu kita tiga tahun kemudian berani berontak dan menyatakan kemerdekaan Indonesia. Yang dilawan ya Belanda , Inggeris dan Jepang sendiri. Alhamdulillaah.

Sesudah agak tenteram dan aman untuk mengadakan perjalanan,pada pertengahan tahun 1942 saya pulang ke Magelang dengan numpak sepeda Jarak Semarang-Magelang kira-2 75 km. Karena ekonomi mulai susah dan saya merasa sudah dewasa, maklum saya sudah berumur lebih dari 17 tahun, saya mencoba mencari uang saku sendiri dengan berdagang. Ya dagang apa saja yang kiranya dapat memberi keuntungan barang sekedar Ke mana-mana naik sepeda atau kereta api Misalnya beli minyak kelapa satu blek yang isinya 20 liter di Purworejo dibawa ke Parakan dan Wonosobo dan dari Wonosobo membawa dendeng dan bawang merah. Atau kulakan tenun Demak dijual dipasar Magelang.

Bulan Januari 1943 untuk pertama kali ada penerimaan murid sekolah teknik di Jogja. Dengan persetujuan Bapak saya ikut mendaftar dan diterima dikelas 4. Waktu pelajaran dimulai dikelas 4 jurusan bangunan ada 11 orang murid. Isinya campuran, ada yang dari KWS, dari PJS, dari TSS, atau dari KES. Demikian pula yang jurusan mesin Tempat belajarnya di bekas gedung PJS, jalan Jetis Jogja. Kompleks sekolahnya seperempatnya dipakai SMP dan tigaperempatnya dipakai oleh STM. Lapangan olah raganya yang besar dipakai bergantian .Kelas kami , kelas IV bangunan letaknya berbatasan dengan tempat istirahat anak- anak SMP.Jadi kalau waktu istirahat belajar kami anak-anak STM pada duduk berderet di doorloop yang berbatasan dengan SMP itu untuk nebeng nonton cewek-cewek SMP. Maklumlah di STM tidak ada murid-ceweknya.

Sebetulnya waktu itu sang calon isteri juga sekolah di SMP itu, tapi kita belum saling kenal. Yang kami kenal yang menonjol saja; misalnya Sapi (Saparinah ) yang paling cantik , atau Roem yang lempar cakramnya bagus dan jauh. Belakangan ternyata yang mendapat Sapi adalah Pak Mohammad Sadeli, seorang jebolan mahasiswa THS Bandung, yang waktu itu menjadi guru kami Ilmu Tenaga atau Mekanika.

Di Jogja saya selama satu tahun nderek Bu Atmo, seorang misan atau mindoan Bapak yang pensiunan bidan dan sudah janda yang rumahnya di Jl. Gowongan Tengah, jadi tidak terlalu jauh dari sekolah. Bu Atmo putranya 5, dik Dang, dik Noek, dik Poer, dik Yek dan dik Wondo. Yang terakhir umurnya sebaya dengan saya.

1. Masa Kanak-kanak Bapak

Kakek dan nenek saya dari fihak bapak bernama Eyang Soehodo suami - isteri. Kakek bekerja sebagai naib di Somoroto . Ayah saya bernama Amrihi dan merupakan anak yang ke - 5 dari enam orang bersaudara Beliau lahir pada tahun 1890 , dan mengambil nama tua Hardjodarsono.

Kakek dan Nenek saya dari fihak ibu bernama Soemeh dan Martoenoes Prawirasetjo. Kakek bekerja sebagai penilik sekolah desa di Purwodadi Grobogan. Nenek sebagai ibu rumah tangga “nyambi“ berjualan zat pewarna buat kain batik. Mereka tinggal dijalan di belakang Kabupaten didepan rumah pegadaian negeri. Ibu saya adalah anak pertama dari 13 orang bersaudara. Dua diantara mereka meninggal sewaktu masih kecil.Yaitu kakak dan adik Pak Maroeto, atau anak yang ke-9 dan ke-11. Nama Ibu saya adalah Siti Solekah dan lahir pada tahun 1894.


Saya terlahir sebagai anak ke-6 dari 7 bersaudara pada tgl. 4 Maret 1925 dengan urutan sebagai berikut: Toepik Samingatoen ( 1911 ), Koen Soedarmi (1914), Muh.Subadi (1917), Moertosijah (1919),Mara’atoen Sri Hartati (1922), Muh.Soenarjo (1925) dan Muh. Samadikoen (1931). Tahun lahirnya ada yang kira–kira. Saya lahir Rebo Kliwon tgl.4 Maaret dan sempat jadi anak bungsu selama 6 tahun.

Di Muntilan kami tinggal di rumah sudut antara jalan di belakang kawedanan dan jalan kearah Talun -Dukun. Dihalaman depan rumah ada pohon kelengkeng dua batang . Tempat saya bermain diasuh oleh Ninek Doemilah, yang orangnya sudah tua dan kecil, tapi masih kuat menggendong saya , walaupun kaki saya sudah hampir klengsreh ditanah. Disamping Ninek masih ada Harkamat, seorang siswa sekolah guru yang ngenger, putranya pak Lurah Padasoka, yang bertugas mengejar-ngejar saya kalau sudah sore saya tidak mau mandi. Masih ada lagi seorang yang membantu didapur dan seorang yang khusus memelihara kuda. Pak gamel ini kadang-kadang mengajak saya menggonceng kuda kalau ia memndikannya di sungai.

Di antara kakak – kakak yang seingat saya waktu itu ada di Muntilan adalahYu Darmi,yang sekolah di MULO, di Magelang.Tiap hari di jam 5 pagi sudah berangkat dari rumah, jalan ke setasiun kereta api. Dari sana naik kereta api ke Magelang . Sorenya baru sampai dirumah lagi. Begitu setiap hari kalau sekolah tidak libur. Kakak–kakak yang lain semuanya nderek Eyang di Purwodadi. Sebabnya karena di Muntilan tidak ada sekolah dasar negeri yang disebut H.I.S. ; Muntilan hanya sebuah kota kawedanan, kalau Purwodadi adalah kota kabupaten. Memang dijaman Belanda dulu orang mau sekolah tidak mudah.Di kecamatan atau desa hanya ada sekolah dasar 2 tahun atau 3 tahun Di kabupaten baru ada SD 7 tahun.SMP baru ada dikota karesidenan dan SMA di kota-kota setara propinsi.

Sebagai penilik sekolah desa Bapak saya sering harus pergi memeriksa sekolah-sekolah yang ada di wilayah tugasnya. Untuk itu ia mempunyai satu sepeda dan dua ekor kuda. Pada suatu hari saya ingin mencoba menaiki sepeda ayah yang di- “ standar “ di dekat kandang kuda. Saya mencoba menaikinya ketika tak ada orang melihatnya. Akibatnya sepedanya roboh dan lengan kiri saya terkilir karena tertindih oleh sepeda itu. Lengan kiri saya sampai sekarang masih “ ceko “.

Tanggal 23 Maret 1931 adik saya lahir dan diberi nama Muhammad Samadikoen. Nenek datang dari Purwodadi untuk menengok Ibu dan adik baru. Sesudah beberapa waktu menunggui Ibu dan hendak pulang ke Purwodadi beliau bertanya kepadaku apakah aku mau ikut dan masuk sekolah disana. Tanpa ragu aku mau, maka ikutlah aku ke Purwodadi bergabung dengan putra dan cucu-cucu Eyang yang lain.Waktu itu disana sudah ada putra eyang yang lain, Bu Debeng , ibunya dik Hanum,Bu Yah,Pak Maruto, Pak Muh dan Pak Har,yang umurnya sebaya dengan saya.Terus ada Yu Moer, Yu Sri, dan kemudian Dik Asiyah, putra pak Byakto. Jadi mendadak saya dari “anak ragil“ yang seperti raja dirumah orang tua sendiri menjadi anak yang ke-9 dirumah Kakek dan Nenek , kalau dihitung menurut urutan umur . Jadi banyak hal yang tadinya tinggal minta atau tinggal suruh saja, sekarang harus saya lakukan sendiri. Seperti mandi, makan , melipat selimut, menebahi tempat tidur dlsb. Kalau makan juga mulai belajar bagi-bagi; kalau biasanya telor satu dimakan sendiri dirumah Eyang berlaku aturan asrama, semuanya harus dibagi rata. Sesudah beberapa waktu saya juga dimasukkan sekolah di HIS, bersama dengan Pak Har karena kami umurnya sebaya . Maka saya juga harus belajar disiplinnya anak sekolah.Tiap jam enam sore semua harus makan dan kemudian belajar bersama dimeja makan Tiap pagi jam setengah enam sudah mandi.Jam 6.00 sarapan pagi dan kemudian berangkat sekolah berjalan kaki. Barangkali jarak ke sekolah kurang lebih setengah kilometer.Jalannya diperkeras dengan kricak,batu pecahan, jadi cukup tajam. Padahal waktu itu belum jamannya anak SD sekolah pakai sepatu.

Halaman rumah eyang luas dan dapat dipakai main bola dengan bola kertas atau jeruk muda. Anak-anak tetangga juga ikut main, antara lain putera- putera kepala pegadaian yang rumahnya berseberangan.

Di pertengahan tahun 1934 Eyang mau boyong , kembali kerumah beliau di Ponorogo Maka “asrama “ Eyang bubaran. Bu Debeng, Bu Yah dan Yoe Toepik sudah menikah.Pak Maroeto pindah sekolah ke Bandung , Pak Har ikut ke Ponorogo. Sementara itu Bapak dan Ibu saya sudah pindah ke Magelang, yang ada HIS-nya ..Maka Pak Moeh, Yu Moer,Yu Sri dan saya kembali ikut Bapak dan Ibu di Magelang Pak Moeh dan Yu Sri ke MULO dan aku meneruskan di kelas 4 HIS. Rumah Magelang jadi penuh juga karena ada juga putra-putra Pak Siener Muntilan yang nderek disana, yaitu dik Tomo yang di MULO dan dik Bawoek dan dik Slamet di HIS.

Maka aku tidak kebagian tempat tidur didalam rumah, melainkan kalau malam harus tidur diemperan atau terras depan dari umah kami di Gang Greja 11, Magelang. Bersama dengan Daris dan Djan, dua orang siswa sekolah guru yang ngenger di Bapak-Ibu.Terrasnya ditutup dengan kerai dari bambu dan bagor dan kami tidur ngampar tikar pandan diatas karpet dari serabut kelapa, jadi tidak dingin .Tapi kadang-kadang kalau terang bulan kami sengaja tidur dihalaman dibawah pohon manggis diatas koral. Karena Daris dan Djan sudah besar dan merokok , saya diam-diam juga belajar merokok.Tapi disamping belajar merokok dari mereka saya juga belajar beberapa tembang Jawa, seperti Dandanggula, pucung dan sinom .

Sesudah tamat HIS, atas anjuran kepala Sekolah, Meneer Schuurink, saya dengan tak usah ujian meneruskan ke kelas percobaan MULO. Kalau mau langsung ke kelas 1 mesti dengan ujian. Kalau di HIS.guru yang bangsa Belanda hanya kepala sekolahnya saja.Di MULO semua gurunya Belanda Ingat saya kepala sekolahnya namanya meneer P. Piena, wali kelas kami meneer Landsman dan guru pengetahuan alamnya masih sangat muda dan baru saja datang dari negara Belanda, Mejuffrow Sloof.