Wednesday, May 9, 2007

7. Allah Maha Murah



Selesai menjalani praktek di tingkat ke-5 saya harus menyusun skripsi dan menempuh ujian akhir. Menurut jadwal yang saya susun nanti bulan Agustus 1955 semua skripsi dan ujian insya ‘Allah bisa saya selesaikan dan kemudian cari pekerjaan, dan kalau tak ada aral melintang terus menikah. Akan tetapi lagi-lagi dari kenyataan terbukti bahwa manusia boleh mempunyai keinginan , tapi akhirnya Tuhan yang menentukan. Jadwal yang sudah saya rencanakan bubaran. Karena pada awal triwulan 2 ketika dari 5 mata kuliah yang harus saya tempuh saya baru menyelesaikan 3, datanglah “ himbauan “ dari calon mertua : Nak, kalau mungkin kalian nikahlah segera, karena sesudah kalian masih ada dua pasang lagi yang menunggu gilirannya. Malah sudah dicarikan hari yang baik. Bagi kalian hari yang terbaik jatuh pada tanggal 23 Juli !”.


Jadi, apa yang mau dikata? Ya sendika saja, calon menantu hanya bisa matur : “ Sami’na wa atho’na “, saya mendengar dan saya patuh. Pikiran saya jadi harus “ banting setir “ , bukan memikirkan ujian akhir, tapi kearah segala konsekwensi dari langkah yang namanya menikah. Sesudah menikah harus tinggal dimana , karena harus keluar dari asrama; penghasilan saya apakah cukup kalau dimakan orang dua?.


Tetapi ternyata Allah memang benar-benar Maha Murah. Secara kebetulan saya mampir dirumah mas Bagijo di Sempur, seorang teman yang baru lulus dokter hewan dan sedang menunggu penempatan. Dia berceritera , bahwa dia sudah harus berangkat ke Bima, sebagai kota penempatannya yang pertama. Saya bertanya : “ Apakah sekaligus mau boyong sekeluarga ?” Maksud saya apakah isterinya yang bekerja sebagai Assisten Apotekeres di apotik Rathkamp sekaligus mau diajaknya. Jawabnya : “Niat kami iya, untuk menghemat biaya” .Pikir saya “ Nah untung ini . Buat calon isteri ada lowongan pekerjaan.” Itu saya ceriterakan kepada mas Bagijo dan isterinya. Sambil menanyakan kepada mbakyu Bagijo bagaimana caranya melamar kepada sang Kepala Apotik supaya sang isteri nanti bisa bekerja di apotik itu. mBakyu Bagijo menjelaskannya kepada saya dan memberikan saran-sarannya. Alhamdullillaahi Robbil’alamin. Secepat mungkin saya usahakan syarat-syarat yang perlu untuk mengajukan lamaran. Kemudian saya mengajukan lamaran dengan menghadap sendiri kepada Mejuffrouw van JOOST, kepala apotik tersebut. Berkat rakhmat Allah Yang Maha Murah lamaran diterima, jadi satu masalah yaitu ongkos hidup sehari-hari sudah tercukupi. Alhamdulillaah, sang calon isteri sudah dapat pekerjaan tanpa susah payah untuk mencarinya.


Sekarang yang perlu dipikir adalah tempat tinggal. Waktu itu saya bersama 6 orang teman lainnya menyewa sebuah rumah yang cukup besar, yaitu di Gang Menteng nomor 34, dan mengaturnya seperti asrama. Tiga bulan sekali kami bergantian jadi “ibu asrama” yang mengatur menu makan sehari-hari dan mengatur pembayaran listrik dan air. Kebetulan sekali, waktunya seperti sudah diatur oleh Yang Maha Suci, yang empunya rumah menawari kami, apakah kami mau pergi kalau rumah ada yang mau beli. Kami jawab , itu bukan soal asal kami semua dicarikan tempat tinggal pengganti Buat fihak yang mau beli rumah rupanya itu juga bukan soal yang amat susah. Dalam waktu yang tidak lama Untung yang sudah berkeluarga dan saya yang mau nikah masing-masing dapat fasilitas yang terpisah cocok buat sebuah keluarga. Untung dapat beberapa kamar di Sawojajar dan saya dapat pavillioen di Jl. Pangrango 14 yang terdiri dari dua kamar, dapur dan kamar mandi. Sungguh tempat tinggal yang sangat mencukupi. Sisanya lima orang bujangan bersama-sama memperoleh di Jl.Tampomas nomor 9. Alhamdulillaah lagi; Sungguh Allah itu memang Maha Murah.


Tinggal kepada Panitia Ujian saya masih perlu mohon apakah jadwal ujian saya boleh dirobah. Walupun mulanya agak heran, tetapi sesudah diberi penjelasan alasannya, maka Panitia Ujian Sarjana dapat menyetujuinya. Jadi atas kemurahan Allah Yang Maha Kuasa maka pernikahan dapat dilangsungkan tanpa halangan pada tanggal 23 Juli 1955. Ujian akhir yang tertunda baru dapat saya selesaikan Desember 1955.


Waktu itu belum sulit untuk mencari pekerjaan. Ketika saya berbicara dengan mas Tjahro Nurkamal, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kimia Hasil Hutan, bahwa saya ingin membantu beliau di lembaganya, langsung saja beliau menerima saya dan diberi tugas di Seksi Kertas, sesudah saya beritahukan , bahwa saya pernah bekerja praktek di pabrik kertas Padalarang selama dua bulan.


Tetapi belum lama saya bekerja disana saya dipanggil oleh Prof.Dr.Soetrisno Djoened Poesponegoro yang waktu itu menjabat Dekan Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan . Beliau berkata : “ Yo, kamu kembali saja bekerja di Fakultas karena orang-orang Belanda mau pada pulang semua, jadi perlu tambahan tenaga di Jurusan Kehutanan .” Maka pertengahan tahun 1956 saya kembali ke Fakultas menjadi Assisten dan mengajar Sylvikultur dan Bangunan Hutan,yaitu bagaimana masang rel lori , bikin jembatan dan membangun gudang-gudang untuk tempat penimbunan kayu jati yang sudah olahan.


Tahun 1956 tanggal 7 Juli kami dikaruniai oleh Allah anak kami yang pertama. Ayah saya memberinya nama Rini Narjati dan kami sendiri Andajani, supaya memberi semangat kepada orang tuanya. Sesudah mempunyai anak sang isteri tidak mau lagi bekerja karena ingin mengasuh anak kami sebaik-baiknya. Saya setuju saja asal dia mau terima apa adanya.Sebagai pegawai perusahaan swasta gaji dia lebih dari Rp.900,- apa lagi kalau ditambah bonus dinas malam kadang-kadng dia menerima lebih dari Rp.1.300,- pada hari gajian. Sedang saya sebagai pegawai negeri yang baru mulai bekerja hanya menerima Rp.421,- sebulan. Untung masih ada kesempatan mengajar di SMA sore hari dan pekerjaan terjemahan.


Tapi kami bahagia di Jl.Pangrango 14 pav. Kakak-kakak yang tinggal di Jakarta sering berkunjung dan tak jarang oleh-oleh alat pengisi rumah, karena rumah masih kelihatan kosong. Waktu kami baru nikah malah yang kami punyai hanya mebel kamar seorang mahasiswa, yaitu 1 amben , 1 meja belajar dan 1 kursi dan 1 kursi santai , sudah itu saja . Maka teman-teman yang berkunjung untuk memberi ucapan selamat menikah terpaksa duduk di jendela, karena kursi santainya hanya bisa menampung dua orang. Mejanya untuk menaruh cangkir-cangkir adalah peti bekas yang ditengkurebkan dan ditaplaki. Berkat sumbangan kakak-kakak dan karena isteri langsung dapat bekerja, dua kamar yang kita tempati lambat laun berisi. Kebanyakan dengan mebel-mebel bekas yang kami beli dari guru-guru besar yang pada mau pulang ke negeri Belanda.


Dari Ibu Magelang kami dibekali pembantu mbok Nem yang ikut bersama kita dengan anaknya Tuminah. Dia pinter masak karena pernah ikut cina yang usahanya warung makan. Di Pangrango Pak Wowok lalu datang tinggal bersama kita. Karena kurang ruang Pak Wok ya cuma disinggedkan “ kamar “ dengan gordijn di ruang tamu. Karena pernah mengalami jaman-jaman yang lebih sulit, maka keadaan yang agak-agak sempit yang kami alami kita anggap sudah lumayan dan patut kita syukuri.


Sejak awal saya ingin menambah kemampuan saya dalam menggunakan bahasa Inggeris, tapi pada waktu itu belum banyak adanya kursus. Jadi aku mengarang sendiri suatu sistim belajar sendiri. Orang belajar suatu bahasa pada pokoknya mengetahui banyak kosa - kata, tahu sedikit tata bahasanya, mengerti kalau ada orang bicara dan orang lain dapat menangkapnya kalau kita mengatakan sesuatu. Maka tiap hari selama 1 jam saya membaca novel dengan menggunakan kamus untuk mencari arti kata-kata yang saya tidak mengerti, mendengarkan siaran berita dari BBC atau Australia, menterjemahkan satu atau dua alinea dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggeris dan membaca satu atau dua halaman secara keras-keras agar melatih kemampuan pengucapan.

No comments: